Efek negatif dan bahaya riba memang sudah jelas akibatnya, namun tetap saja ada seseorang dan sebuah negara yang tidak mau segera melepaskan diri dari jerat riba.
Hal ini pula yang terjadi pada ekonomi Indonesia. Kondisi keseimbangan primer dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2017 dinyatakan oleh Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani tidak sehat. Keseimbangan primer berada dalam posisi defisit, yang artinya pemerintah menarik utang atau berhutang kepada pihaj lain untuk membayar bunga utang.
Keseimbangan primer merupakan selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Bila pendapatan lebih besar dari belanja negara di luar pembayaran bunga utang, maka keseimbangan primer akan positif atau surplus.
Sejak kapan keseimbangan primer
defisit?
Dalam data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dikutip detikFinance pada Kamis (18/8/2016), defisit pada keseimbangan primer ini terjadi sejak tahun 2012.
Pada tahun 2010, keseimbangan primer tercatat surplus atau positif dengan realisasi Rp 41,5 triliun. Ini artinya penerimaan negara lebih besar dari belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Jadi pemerintah kala itu masih memiliki dana dari penerimaan negara untuk membayar bunga utang.
Setahun berikutnya, kondisi keseimbangan primer mulai menipis. Surplus pada keseimbangan primer hanya Rp 8,8 triliun. Namun ini masih dianggap sehat dari sisi pengelolaan anggaran negara.
Pada tahun 2012, keseimbangan primer mulai defisit sebesar Rp 52,7 triliun. Begitu pun yang terjadi pada tahun 2013, dengan besaran defisit Rp 98,6 triliun, lalu tahun 2014 defisit sebesar Rp 93,2 triliun.
Lewat kondisi defisit ini, berarti pemerintah sudah tidak memiliki kemampuan untuk membayar bunga utang dari hasil penerimaan negara. Pemerintah harus mencari utang baru untuk membayar bunga utangnya. Sungguh tragis dan ironis..!!
Lonjakan drastis keseimbangan primer terjadi pada tahun 2015, yang nilainya menjadi Rp 142,4 triliun. Pada tahun 2016, dalam APBN Perubahan (APBN-P) dicantumkan defisit keseimbangan primer sebesar Rp 105,5 triliun dan defisit keseimbangan primer di tahun 2017 diperkirakan sebesar Rp 111,4 triliun. [AH/dtk]
Sumber : Manjanik
Hal ini pula yang terjadi pada ekonomi Indonesia. Kondisi keseimbangan primer dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2017 dinyatakan oleh Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani tidak sehat. Keseimbangan primer berada dalam posisi defisit, yang artinya pemerintah menarik utang atau berhutang kepada pihaj lain untuk membayar bunga utang.
Keseimbangan primer merupakan selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Bila pendapatan lebih besar dari belanja negara di luar pembayaran bunga utang, maka keseimbangan primer akan positif atau surplus.
Sejak kapan keseimbangan primer
defisit?
Dalam data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dikutip detikFinance pada Kamis (18/8/2016), defisit pada keseimbangan primer ini terjadi sejak tahun 2012.
Pada tahun 2010, keseimbangan primer tercatat surplus atau positif dengan realisasi Rp 41,5 triliun. Ini artinya penerimaan negara lebih besar dari belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Jadi pemerintah kala itu masih memiliki dana dari penerimaan negara untuk membayar bunga utang.
Setahun berikutnya, kondisi keseimbangan primer mulai menipis. Surplus pada keseimbangan primer hanya Rp 8,8 triliun. Namun ini masih dianggap sehat dari sisi pengelolaan anggaran negara.
Pada tahun 2012, keseimbangan primer mulai defisit sebesar Rp 52,7 triliun. Begitu pun yang terjadi pada tahun 2013, dengan besaran defisit Rp 98,6 triliun, lalu tahun 2014 defisit sebesar Rp 93,2 triliun.
Lewat kondisi defisit ini, berarti pemerintah sudah tidak memiliki kemampuan untuk membayar bunga utang dari hasil penerimaan negara. Pemerintah harus mencari utang baru untuk membayar bunga utangnya. Sungguh tragis dan ironis..!!
Lonjakan drastis keseimbangan primer terjadi pada tahun 2015, yang nilainya menjadi Rp 142,4 triliun. Pada tahun 2016, dalam APBN Perubahan (APBN-P) dicantumkan defisit keseimbangan primer sebesar Rp 105,5 triliun dan defisit keseimbangan primer di tahun 2017 diperkirakan sebesar Rp 111,4 triliun. [AH/dtk]
Sumber : Manjanik