Kali ini pasti akan membuat semua orang yang membacanya sadar bahwa sebagai manusia kita harus selalu bersyukur walau bagaimana pun keadaan kita. Kisah yang akan disajikan di sini adalah sebuah gambaran bahwa masih ada banyak manusia hebat di dunia ini walaupun dalam kondisi kehidupan super sulit sekali pun.
Kisah yang sangat menginspirasi ini dijamin akan membuat Anda mengeluarkan air mata, bahkan seorang preman sekali pun. Seperti apa kisah lengkapnya?
yang mengharukan tentang kehidupan sulit seorang kakek pemulung atau tukang sampah di Jakarta ini diceritakan oleh seorang pegawai kantoran di Jakarta juga.
Walaupun si kakek pemulung sampah ini tak banyak bicara, perilakunya sungguh-sungguh menusuk hati siapa saja yang membaca cerita ini. Marilah kita simak bersama-sama kisah nyata kakek pemulung sampah berikut ini.
Perjumpaan Seorang Pemuda Kantoran dengan Kakek Pemulung
Barusan saya istirahat makan siang di kantor sekitar daerah Stasiun Kota, Jakarta. Di daerah inilah banyak ditemukan gelandangan, pengemis, dan mereka-mereka yang hidupnya serba sulit. Mungkin orang-orang Jakarta sudah mengetahui seperti apa kondisi di tempat ini.
Sebelum mencari tempat makan, waktu itu saya membeli rokok dulu biar nanti setelah makan tidak bingung mencari-cari rokok.
Saya pun menyalakan sebatang rokok sambil berjalan-jalan mencari tempat yang pas untuk duduk dan makan siang tentunya. Sampai akhirnya saya menemukan juga tempat enak untuk makan, tetapi sayangnya di sana sudah penuh dengan orang-orang yang makan dan bingung deh akhirnya mau duduk di mana.
Tak disangka, seorang kakek tua berbicara kepada saya, “Di sini aja Pak duduknya sama saya”, kata si kakek tadi. Saya pun tak menolak tawaran si kakek tua itu walaupun di situ panas.
Setelah diperhatikan, si kakek tua ini bisa dibilang tua banget umurnya, giginya ompong, kurus, rambutnya uban semua, dan membawa tas besar serta kresek plastik. Kisah inspiratif ini dilanjutkan dengan obrolan antara saya dan si kakek.
Percakapan dengan Si Kakek Pemulung Sampah
Saya : “Lagi nungguin apa Kek di sini?”
Kakek : “Nggak nunggu apa-apa Mas, cuma duduk saja istirahat cape abis cari-cari sampah seharian.”
Saya : “Dari jam berapa Kek?”
Kakek : “Udah dari pagi Mas, lumayan banyak dapet sampah hari ini.”
Saya : “Oh gitu.”
Percakapan pun sempat terputus sebentar. Saya pun akhirnya menikmati rokok sementara si kakek merapikan plastik-plastik yang dibawanya. Hingga akhirnya si kakek ini memijit-mijit kepalanya sambil menghela napas panjang.
Saya : “Kenapa Kek, pusing ya? Panas-panas gini memang bikin kepala pusing.”
Kakek : “Bener Mas, kepala saya pusing dikit.”
Saya : “Kakek suka ngerokok gak? Ini ambil kalau Kakek mau.”
Kakek : “Terima kasih Mas, saya tidak merokok, sayang kalau punya uang dibeliin rokok, mendingan buat makan aja daripada beli rokok. Ngerokok juga ga bagus buat badan.
Saya : “Bener juga sih Kek.”
Setelah itu, saya tak sengaja mendengar suara cacing dalam perut si kakek, “kruuk-kruuk”. Saya pun bertanya ke si kakek.
Saya : “Kakek belum makan?”
Kakek : “Belum Mas, ntar aja makannya.”
Saya : “Ntar pusingnya nambah, lho.”
Kakek : “Biarin aja Mas, udah biasa pusing tiap hari.”
Saya : “Bener Kakek ga akan makan?
Kakek : “Beneran Mas, ntar aja.”
Saya yakin si kakek ini bukannya tidak mau makan, tetapi tidak punya uang untuk beli makan.
Saya : “Oh ya udah kalo gitu, saya mau pesen makan dulu ke warung.”
Kakek : “Ia Mas, silahkan.”
Saya pun ke warung Padang mesen nasi buat saya sendiri dan satu lagi sengaja saya pesankan untuk si kakek pemulung sampah tadi. Setelah itu, kedua piring nasi yang sudah dipesan ini saya bawa ke tempat duduk tadi dan duduklah saya di sana.
Saat akan mau memberi sepiring nasi tadi ke si kakek, saya takut si kakek tersinggung, sehingga akhirnya saya berpura-pura menerima telepon dari teman saya.
Saya : “(Berpura-pura menerima telepon dari teman) Nggak jadi ke sini? Padahal udah gue beliin nasi Padang sepiring. Ya udah deh.”
Saya : “Ini temen saya gak jadi makan siang di sini padahal ini nasi sengaja saya pesenin buat dia.”
Kakek : “Gak apa-apa Mas, bungkus saja buat makan sore nanti.”
Saya : “Kalau dimakan sore keburu basi Kek. Ini buat Kakek saja kan belum makan, sekalian nemenin saya makan siang?”
Kakek : “Waduh, saya nggak punya uang untuk bayarnya Mas.”
Saya : “Gratis kok Kek, saya yang bayarin kebetulan hari ini saya ulang tahun.”
Kakek : “Beneran nih Mas? Kakek malu.”
Saya : “Makan aja Kek ga usah malu-malu.”
Kakek : “Ya udah Mas, selamat ulang tahun ya.”
Saya : “Terima kasih Kek. Kakek mau pesen minum? Saya pesenin ya.”
Kakek : “Nggak usah Mas, terima kasih.”
Saya : “Ini Kek minumnya.”
Kakek : “Lho, ini buat saya? Saya gak pesen Mas.”
Saya : “Ia Kek. Tanggung, saya pesen 2, haus banget nih (padahal gak haus).”
Tanpa diduga-duga, mata si Kakek mengeluarkan air mata sambil mengucapkan syukur berulang kali dan bilang ke saya:
Kakek : “Terima kasih banyak ya Mas, saya sudah dikasih makan. Saya sebenarnya belum makan dari kemarin. Tapi saya malu mas. Saya pengennya beli nasi pakai uang sendiri karena Kakek bukan pengemis. Saya hari ini lapar sekali Mas, tapi gimana lagi belum dapet uang hasil ngumpulin sampah.”
Saya pun sangat tertegun mendengar kisah inspiratif dari sang kakek ini sampai-sampai ikut merasa perih banget di dalam hati.
Hati saya sebenarnya sangat sedih dan hampir meneteskan air mata, tetapi saya mencoba cuek-cuek saja di hadapan si kakek.
Saya : “Sama-sama Kek, cepet Kek makan nasinya, nanti kalau belum kenyang, saya pesenin lagi. Jangan malu-malu Kek.”
Kakek : “(Masih menangis) Makasih banyak Mas, nanti kebaikan Mas, Tuhan yang membalasnya.”
Saya : “Terima kasih doanya Kek.”
Saya pun makan bareng berdua sama si kakek pemulung ini sambil ngobrol-ngobrol.
Dari obrolan dengan si Kakek, saya baru tahu kalau beliau memiliki anak dua, yang satu sudah meninggal dunia karena kecelakaan dan satu lagi pergi begitu saja dari rumah meninggalkannya.
Istrinya pun sudah meninggal karena penyakit kanker dan yang lebih menyedihkan adalah rumahnya diambil sama pegawai kredit karena si kakek tidak bisa melunasi pinjaman uang untuk mengobati istrinya dulu.
Miris sekali saya mendengar cerita dari beliau ini. Pria sebatang kara yang tidak punya rumah, istrinya sudah meninggal, satu anaknya durhaka, jarang makan, bahkan pernah dipalak preman saat memulung sampah.
Tapi, bila si preman tadi tahu keadaan sebenarnya si kakek ini, dijamin preman tadi akan menangis seperti saya.
Hikmah dari Kisah Tersebut
Sepiring nasi dan segelas minuman yang saya berikan kepada si kakek tidak sebanding dengan pelajaran yang saya dapatkan.
Sisa uang beli makan pun saya berikan kepada si kakek. Walaupun terus menolak pemberian uang ini, si kakek akhirnya mau menerimanya setelah saya paksa-paksa. Saya pun didoakan banyak sekali oleh beliau.
Tak sampai di situ, yang semakin menusuk hati saya saat akan berpisah dengan beliau adalah si kakek ternyata langsung menuju masjid terdekat untuk memasukkan sebagian uang pemberian saya untuk dimasukkan ke kotak amal.
Dengan kesulitan hidup yang amat sangat, beliau masih sempat juga untuk beramal dan berbagi dengan orang lain, sedangkan saya?
Saya hanya menangis dan merasa tak ada apa-apanya sebagai manusia, jarang bersyukur, jarang beramal, tetapi justru sering mengeluh. Tak pantas manusia bersikap seperti itu.
Dari kisah inspiratif tersebut, kita seharusnya merasa bersyukur sekali dengan kondisi kita sekarang. Anda seharunya sangat menyesal karena misalnya sering mengeluh tentang pekerjaan, tentang uang, dan lain sebagainya, sementara si kakek pemulung tadi tak pernah mengeluh, bahkan tetap tersenyum walaupun kondisinya serba kekurangan.
Kisah yang sangat menginspirasi ini dijamin akan membuat Anda mengeluarkan air mata, bahkan seorang preman sekali pun. Seperti apa kisah lengkapnya?
yang mengharukan tentang kehidupan sulit seorang kakek pemulung atau tukang sampah di Jakarta ini diceritakan oleh seorang pegawai kantoran di Jakarta juga.
Walaupun si kakek pemulung sampah ini tak banyak bicara, perilakunya sungguh-sungguh menusuk hati siapa saja yang membaca cerita ini. Marilah kita simak bersama-sama kisah nyata kakek pemulung sampah berikut ini.
Perjumpaan Seorang Pemuda Kantoran dengan Kakek Pemulung
Barusan saya istirahat makan siang di kantor sekitar daerah Stasiun Kota, Jakarta. Di daerah inilah banyak ditemukan gelandangan, pengemis, dan mereka-mereka yang hidupnya serba sulit. Mungkin orang-orang Jakarta sudah mengetahui seperti apa kondisi di tempat ini.
Sebelum mencari tempat makan, waktu itu saya membeli rokok dulu biar nanti setelah makan tidak bingung mencari-cari rokok.
Saya pun menyalakan sebatang rokok sambil berjalan-jalan mencari tempat yang pas untuk duduk dan makan siang tentunya. Sampai akhirnya saya menemukan juga tempat enak untuk makan, tetapi sayangnya di sana sudah penuh dengan orang-orang yang makan dan bingung deh akhirnya mau duduk di mana.
Tak disangka, seorang kakek tua berbicara kepada saya, “Di sini aja Pak duduknya sama saya”, kata si kakek tadi. Saya pun tak menolak tawaran si kakek tua itu walaupun di situ panas.
Setelah diperhatikan, si kakek tua ini bisa dibilang tua banget umurnya, giginya ompong, kurus, rambutnya uban semua, dan membawa tas besar serta kresek plastik. Kisah inspiratif ini dilanjutkan dengan obrolan antara saya dan si kakek.
Percakapan dengan Si Kakek Pemulung Sampah
Saya : “Lagi nungguin apa Kek di sini?”
Kakek : “Nggak nunggu apa-apa Mas, cuma duduk saja istirahat cape abis cari-cari sampah seharian.”
Saya : “Dari jam berapa Kek?”
Kakek : “Udah dari pagi Mas, lumayan banyak dapet sampah hari ini.”
Saya : “Oh gitu.”
Percakapan pun sempat terputus sebentar. Saya pun akhirnya menikmati rokok sementara si kakek merapikan plastik-plastik yang dibawanya. Hingga akhirnya si kakek ini memijit-mijit kepalanya sambil menghela napas panjang.
Saya : “Kenapa Kek, pusing ya? Panas-panas gini memang bikin kepala pusing.”
Kakek : “Bener Mas, kepala saya pusing dikit.”
Saya : “Kakek suka ngerokok gak? Ini ambil kalau Kakek mau.”
Kakek : “Terima kasih Mas, saya tidak merokok, sayang kalau punya uang dibeliin rokok, mendingan buat makan aja daripada beli rokok. Ngerokok juga ga bagus buat badan.
Saya : “Bener juga sih Kek.”
Setelah itu, saya tak sengaja mendengar suara cacing dalam perut si kakek, “kruuk-kruuk”. Saya pun bertanya ke si kakek.
Saya : “Kakek belum makan?”
Kakek : “Belum Mas, ntar aja makannya.”
Saya : “Ntar pusingnya nambah, lho.”
Kakek : “Biarin aja Mas, udah biasa pusing tiap hari.”
Saya : “Bener Kakek ga akan makan?
Kakek : “Beneran Mas, ntar aja.”
Saya yakin si kakek ini bukannya tidak mau makan, tetapi tidak punya uang untuk beli makan.
Saya : “Oh ya udah kalo gitu, saya mau pesen makan dulu ke warung.”
Kakek : “Ia Mas, silahkan.”
Saya pun ke warung Padang mesen nasi buat saya sendiri dan satu lagi sengaja saya pesankan untuk si kakek pemulung sampah tadi. Setelah itu, kedua piring nasi yang sudah dipesan ini saya bawa ke tempat duduk tadi dan duduklah saya di sana.
Saat akan mau memberi sepiring nasi tadi ke si kakek, saya takut si kakek tersinggung, sehingga akhirnya saya berpura-pura menerima telepon dari teman saya.
Saya : “(Berpura-pura menerima telepon dari teman) Nggak jadi ke sini? Padahal udah gue beliin nasi Padang sepiring. Ya udah deh.”
Saya : “Ini temen saya gak jadi makan siang di sini padahal ini nasi sengaja saya pesenin buat dia.”
Kakek : “Gak apa-apa Mas, bungkus saja buat makan sore nanti.”
Saya : “Kalau dimakan sore keburu basi Kek. Ini buat Kakek saja kan belum makan, sekalian nemenin saya makan siang?”
Kakek : “Waduh, saya nggak punya uang untuk bayarnya Mas.”
Saya : “Gratis kok Kek, saya yang bayarin kebetulan hari ini saya ulang tahun.”
Kakek : “Beneran nih Mas? Kakek malu.”
Saya : “Makan aja Kek ga usah malu-malu.”
Kakek : “Ya udah Mas, selamat ulang tahun ya.”
Saya : “Terima kasih Kek. Kakek mau pesen minum? Saya pesenin ya.”
Kakek : “Nggak usah Mas, terima kasih.”
Saya : “Ini Kek minumnya.”
Kakek : “Lho, ini buat saya? Saya gak pesen Mas.”
Saya : “Ia Kek. Tanggung, saya pesen 2, haus banget nih (padahal gak haus).”
Tanpa diduga-duga, mata si Kakek mengeluarkan air mata sambil mengucapkan syukur berulang kali dan bilang ke saya:
Kakek : “Terima kasih banyak ya Mas, saya sudah dikasih makan. Saya sebenarnya belum makan dari kemarin. Tapi saya malu mas. Saya pengennya beli nasi pakai uang sendiri karena Kakek bukan pengemis. Saya hari ini lapar sekali Mas, tapi gimana lagi belum dapet uang hasil ngumpulin sampah.”
Saya pun sangat tertegun mendengar kisah inspiratif dari sang kakek ini sampai-sampai ikut merasa perih banget di dalam hati.
Hati saya sebenarnya sangat sedih dan hampir meneteskan air mata, tetapi saya mencoba cuek-cuek saja di hadapan si kakek.
Saya : “Sama-sama Kek, cepet Kek makan nasinya, nanti kalau belum kenyang, saya pesenin lagi. Jangan malu-malu Kek.”
Kakek : “(Masih menangis) Makasih banyak Mas, nanti kebaikan Mas, Tuhan yang membalasnya.”
Saya : “Terima kasih doanya Kek.”
Saya pun makan bareng berdua sama si kakek pemulung ini sambil ngobrol-ngobrol.
Dari obrolan dengan si Kakek, saya baru tahu kalau beliau memiliki anak dua, yang satu sudah meninggal dunia karena kecelakaan dan satu lagi pergi begitu saja dari rumah meninggalkannya.
Istrinya pun sudah meninggal karena penyakit kanker dan yang lebih menyedihkan adalah rumahnya diambil sama pegawai kredit karena si kakek tidak bisa melunasi pinjaman uang untuk mengobati istrinya dulu.
Miris sekali saya mendengar cerita dari beliau ini. Pria sebatang kara yang tidak punya rumah, istrinya sudah meninggal, satu anaknya durhaka, jarang makan, bahkan pernah dipalak preman saat memulung sampah.
Tapi, bila si preman tadi tahu keadaan sebenarnya si kakek ini, dijamin preman tadi akan menangis seperti saya.
Hikmah dari Kisah Tersebut
Sepiring nasi dan segelas minuman yang saya berikan kepada si kakek tidak sebanding dengan pelajaran yang saya dapatkan.
Sisa uang beli makan pun saya berikan kepada si kakek. Walaupun terus menolak pemberian uang ini, si kakek akhirnya mau menerimanya setelah saya paksa-paksa. Saya pun didoakan banyak sekali oleh beliau.
Tak sampai di situ, yang semakin menusuk hati saya saat akan berpisah dengan beliau adalah si kakek ternyata langsung menuju masjid terdekat untuk memasukkan sebagian uang pemberian saya untuk dimasukkan ke kotak amal.
Dengan kesulitan hidup yang amat sangat, beliau masih sempat juga untuk beramal dan berbagi dengan orang lain, sedangkan saya?
Saya hanya menangis dan merasa tak ada apa-apanya sebagai manusia, jarang bersyukur, jarang beramal, tetapi justru sering mengeluh. Tak pantas manusia bersikap seperti itu.
Dari kisah inspiratif tersebut, kita seharusnya merasa bersyukur sekali dengan kondisi kita sekarang. Anda seharunya sangat menyesal karena misalnya sering mengeluh tentang pekerjaan, tentang uang, dan lain sebagainya, sementara si kakek pemulung tadi tak pernah mengeluh, bahkan tetap tersenyum walaupun kondisinya serba kekurangan.